Ustadz
Empat tahun sudah aku tinggal di Masjid Nurul Huda, tapi belum pernah satu kali pun diri ini dihinggapi rasa bosan. Bahkan ketika Rudi and the gank menerorku karena salah paham, ia mengira aku punya perasaan tertentu pada Anis, pacarnya. Atau saat Pak Darman mencaci-makiku di depan banyak orang karena enggan mengikuti ritual seribu hari kematian istrinya. Tidak satu pun dari semua itu yang membuat emosiku meledak berlebihan hingga meninggalkan masjid yang lumayan megah ini.
Masjid Nurul Huda menampungku sejak berstatus mahasiswa semester pertama. Sebagai timbal balik atas kamar gratisnya, aku mengisi waktu ba’da Maghrib dengan mengajar anak-anak warga sekitar masjid membaca Alquran hingga menjelang Isya. Di waktu-waktu lain biasanya aku membersihkan masjid, bahkan kadang mencuci mukena di lemari perempuan, karena ibu-ibu pengajian jarang melakukannya.
“Bang Habib nggak pergi dari sini, kan?” pertanyaan lugu dari Satrio yang menyiratkan kepedulian tulus. Satrio hanya satu dari sekitar dua puluh anak yang terus menyakinkanku untuk tetap tinggal di masjid ini setelah wisuda.
Dan memang, hingga beberapa bulan setelah menjadi sarjana, aku masih menganggur. Tapi bukan hanya karena alasan itu aku tetap di sini, aku betah –mungkin– karena ikatan kasih sayang antara aku dan adik-adik didikku.
“Belum ada kabar satu pun, Bib?” agak tak enak Bang Sar bertanya. Ia adalah anak almarhum Haji Mukhlis yang mewakafkan tanahnya untuk mendirikan masjid ini dua puluh tahun silam.
Bang Sar bekerja sebagai supervisor di sebuah perusahaan penyalur barang-barang kelontong. Meski telah berumahtangga, ia masih betah berlama-lama di masjid.
“Belum,” jawabku tabah.
Di meja, masih ada dua map lagi berisi surat lamaran kerja lengkap dengan curriculum vitae. Rencanaya berkas itu akan kuantarkan ke salah satu SD Islam dan sebuah Bank Syariah. Bang Sar membuka salah satu map lalu melihat-lihat lembaran di dalamnya.
“Kemarin Abang diskusi dengan bapak-bapak yang shalat di sini, Abang menanyakan kesediaan mereka berinfak semampunya untuk ustadz yang telah mengajar anak-anak mereka membaca Alquran. Alhamdulillah, mereka semua bersedia.”
“Maksud Abang honor untuk saya?”
“Iya, Abang sadar betul orang-orang seperti kamulah yang banyak berjasa bagi anak-anak, walaupun memang baru disadari setelah mereka dewasa nanti. Bisa dibilang, membaca Alquran adalah modal awal untuk mendapatkan ilmu agama.”
“Tapi saya malu, Bang.”
“Seharusnya mereka yang malu, untuk ilmu komputer dan Bahasa Inggris yang bersifat dunia, mereka rela menghabiskan uang ratusan ribu, bahkan jutaan. Tapi untuk Alquran yang dunia akhirat malah gratisan.”
Walau setuju dengan pendapatnya, aku tetap tak mengiyakan ucapan Bang Sar, seperti ada keraguan yang mengganjal. Entahlah, mungkin saja firasat.
Awal bulan. Kuintip Bang Sar yang sedang menyusun lembar-lembar kusam di belakang mimbar. Dari sebuah kotak kardus kecil dengan segaris lubang ia mengeluarkan rupiah demi rupiah, lalu merapikannya. Bang Sar tak menyadari kehadiranku maka kubiarkan saja ia sibuk dengan kotak yang tadi digilirkan kepada bapak-bapak dan ibu-ibu jamaah shalat Maghrib.
Kuteruskan mengimla adik-adikku, malam ini giliran materi mad. Begitulah, dalam sepekan membaca Alquran dilakukan empat malam, satu malam untuk belajar tajwid dengan sedikit kegiatan mencatat—seperti di sekolah, dan satu malam untuk ceramah agama yang kadang diisi kawan-kawan organisasi atau kenalanku. Sisanya, malam Jumat, libur.
Masjid megah ini sempat memiliki Remaja Masjid, tapi struktur organisasinya berkali-kali diubah, program kerjanya tak pernah jalan, dan para pemudanya pun entah hilang ke mana. Kelak, murid-muridku inilah yang akan menggantikan mereka.
Saat aku sedang menjelaskan tentang jaiz munfashil, salah satu adik didikku menarik paksa pulpen teman di belakangnya.
“Ardi,” tegurku dengan hanya menyebut namanya.
“Pulpen Maya juga diambilnya, Bang,” adu anak yang lain.
“Kembalikan Dik, perempuan harus dijaga bukan diganggu.”
Ardi melotot pada Maya, lalu melemparkan sebuah pulpen gel pada temannya itu.
“Jangan diambil!”
Maya yang kepalanya terkena pulpen lemparan Ardi urung mengambil miliknya.
“Kamu ambil kembali pulpennya, lalu kasih baik-baik!” aku mulai bertindak tegas.
Hal-hal semacam ini memang sering terjadi, dan menurutku itu biasa. Yang tidak biasa, Ardi bukannya melaksanakan perintahku, ia malah beranjak dari duduknya lalu keluar meninggalkan masjid. Sepeninggal Ardi, pelajaran kulanjutkan kembali.
Usai shalat Isya dan anak-anak sudah pulang ke rumah mereka masing-masing, Bang Sar menghampiriku, sebuah amplop ia angsurkan.
“Terimakasih, Bang.”
“Gunakan seperlunya, tapi setelah mendapat kerja nanti, jangan dilupakan yang sedikit ini.”
Aku tersenyum mengangguk.
Pintu kamarku diketuk berulang-ulang nyaris tanpa jeda. Kuletakkan amplop yang baru saja kubuka tapi belum sempat menghitung berapa rupiah jumlah isinya.
“Ada apa, Pak?” di depan pintu kamarku yang terletak di samping masjid, Pak Barus, ayah Ardi, berdiri berkacak pinggang.
“Ada apa ada apa, kamu sudah berani mengusir anak saya!”
“Maaf Pak, tapi saya tidak pernah mengusir Ardi, teman-temannya bisa jadi saksi,” aku membela diri.
“Anak kecil mana bisa bohong. Saya sudah pesan ke dia kalau kamu macam-macam, Ardi harus lapor. Karena sekarang kamu dibayar, jadi tidak bisa semaunya!”
“Astaghfirullahal’azhim.” Kutoleh amplop di meja sebelah tempat tidur. “Maafkan saya, Pak. Insyaallah besok infaknya saya kembalikan.”
Kutinggalkan Pak Barus yang masih berkacak di depan pintu. Kubiarkan pintu itu tetap terbuka, karena aku terlalu sibuk mengusir ribuan setan yang meniup-niup bisikan ke dadaku.
Angin malam berhenti memasuki kamarku, sepertinya Pak Barus menutup pintu kamarku dari luar, sebelum kemudian meninggalkan masjid.
“Apa-apaan ini?” Bang Sar menolak amplop yang kuangsurkan.
“Kembalikan saja lagi Bang ke pemiliknya semula, tenyata lebih enak tanpa imbalan.” Kudesak Bang Sar mengambil amplop yang tadi malam ia berikan padaku.
“Abang nggak akan ninggalin kita, kan?” Maya berdiri di belakang Bang Sar, sepertinya ia tahu apa yang terjadi.
Aku menjawabnya dengan senyuman.
“Kalau Abang marah sama Maya, Maya nggak pernah bilang sama Ayah kok,” lanjut Maya lagi.
“Kenapa kamu nggak bilang?” tanyaku iseng.
“Karena Abang marahnya cuma sebentar, dan nggak pernah mukul.”
Kuperhatikan wajah polos di depanku itu. Ingin kusampaikan, segala cinta bermekaran di dadaku untuk ia dan kawan-kawannya.
Tak lama, Ardi datang menenteng Iqro’. Sedikit takut-takut ia memasuki masjid, kuberikan senyumku padanya, senyum yang sama dengan yang kuberikan pada Maya.
“Abang masih di sini, kan?” Maya bertanya lagi.
Aku mengangguk
“Nanti biar Maya bilang ke Ayah supaya memberi infaknya lebih banyak.”
“Sst, jangan itu! Bilang saja ke Ayah, ngajinya gratis, tapi yang mau pulang lebih dulu silakan, asal jangan balik lagi,” kali ini agak kencang suaraku.
Maya tertawa, ia mengerti maksudku. Sementara, Bang Sar sibuk menuliskan pengumuman di whiteboard; “Infak untuk ustadz dikembalikan ke kotak amal. Belajar Alquran kembali digratiskan, dan mohon bantuan orangtua untuk mengajarkan anak agar menghargai ilmu dan menghormati guru!”
Bang Sar mengetuk ujung spidolnya dengan keras ke whiteboard, tanda ia kesal. Ardi sedikit gugup, tapi ia tetap anak-anak. Tak mengerti.
0 Komentar untuk "Cerpen Islami"