“BABAD PASIR LUHUR”
Kisah
ini menceritakan tentang perjuangan Raden Banyak Catra, putra Prabu
Siliwangi Raja Pajajaran. Dikisahkan saat itu Raden Banyak Catra dipersiapkan
untuk menggantikan kedudukan ayahnya menjadi raja. Namun syarat untuk
menjadi raja, Raden Banyak Catra harus memiliki istri terlebih dahulu.
Akhirnya Raden Banyak catra pergi mengembara untuk mencari pendamping
hidup.
Raden
Banyak Catra menyamar sebagai rakyat jelata dan berganti nama menjadi
Kamandaka. Kamandaka pergi ke Pasir Luhur, sebuah Kadipaten yang
dipimpin oleh Adipati Kandhadhaha. Kedatanannya ke Pasirluhur adalah
untuk menemui Dewi Ciptarasa, putri bungsu sang Adipati. Singkat cerita
kemudian Kamandaka di angkat sebagai anak oleh Reksanata, Patih Pasir
Luhur.
Hasrat
Raden Kamandaka untuk melihat wajah Putri Dewi Ciptarasa dapat terkabul
ketika Adipati Kandhadhaha mengadakan hiburan dengan mengadakan
penangkapan ikan di sungai secara beramai-ramai.
Pertemuan
Raden Kamandaka dengan Dewi Ciptarasa berlanjut dengan jalinan cinta.
Suatui ketika Raden Kamandaka mengunjungi Dewi Ciptarasa di Kadipaten
Pasirluhur. Namun pertemuan itu dipergoki oleh kakak Ciptarasa. Bagi
sang Adipati Kandhadhaha, perbuatan Kamandaka telah mencoreng mukanya
karena sebagai seorang rakyat jelata bercengkrama dengan Putri Dewi
Ciptarasa. Kemudian Patih dipanggil oleh Adipati Kandhadhaha dan
perintahkan untuk membunuh Kamandaka. Sebagai seorang ayah, Patih
Reksananta bingung untuk melaksanakan tugas ini.
Raden
Kamandaka dikekar-kejar oleh Prajurit Kadipaten, kemudian Raden
Kamandaka terjun ke sungai dan bersembunyi dalam gua di sungai itu. Para
Prajurit Kadipaten melempari batu ke tempat Raden Kamandaka menceburkan
diri. Setela beberapa waktu tidak muncul, mereka mengira Raden
Kamandaka telah tewas tenggelam di sungai itu. Apalagi mereka melihat
usus terapung di sungai, mereka mengira usus ayam yang terapung itu adalah ususnya Raden Kamandaka.
Para
prajurit kemudian pulang untuk melaporkan kejadian itu kepada Sang
Adipati. Sampai sekarang lubuk tempat Raden Kamandaka terjun dikenal
dengan anama “Kedhung Petaunan” di sungai logawa, 3 Km sebelah Batrat
Kota Purwokerto.
1. Terhindar dari bahaya.
Raden
Kamandaka bersembunyi di sebuah kedung terus menyusup ke gua dan
akhirnya sampai di tempuran sungai logawa. Tempat tersebut sampai
sekarang disebut “Surup lawang” yaitu pertemuan antara sungai Logawa
dengan Sungai Serayu di sebelah selatan Purwokerto.
Dengan
menyusuri sungai Logawa, samapailah Raden Kamandaka ke kadipaten
Pasirluhur. Selanjutnya ia menumpang dirumas seorang janda yang tidak
mempunyai anak yaitu Nyi Kartisara, yang pekerjaannya menjual daun
pisang.
Raden
Kamandaka memakai nama samaran “si Sulap”. Kegemarannya memelihara ayam
jantan untuk di adu. Kemudian tempat tingal Si Sulap terkenal dengan
nama “Kurung Ayam”. Ayam jago Si Sulap yang terbaik dinamakan “Mercu”.
Sulap mendapatkan seorang kawan bernama Ki Reksajaya, berasal dari
Losari, orang yang cacad jasmaninya. Tempat yang terkenal untuk
menyabung ayam pada waktu itu adalah Pangebatan.
Semetara
itu Prabu Siliwangi di Pajajaran merasa gerlisah demi menunggu Raden
Kamandaka tidak kunjung pulang. Kemudian beliau memerintahklan putranya
Raden Gagak Ngampar, adik Kamandaka, yang sedang bertapa untuk mecari
kakaknya Raden Kamandaka.
Akhirnya
Raden Banyak Ngampar pergi meninggalkan Pajajaran dengan memakai nama
samaran Raden Silihwarni. Beliau sampai ke daerah Pasirluhur dan
langsung menuju Kadipaten Pasirluhur untuk mengabdikan diri. Permohonan
itu dikabulkan oleh Sang Adipati dan diangkat menjadi prajurit.
Selang
beberapa waktu terdengar kabar bahwa Kamandaka masih hidup dan berada
di suatu desa sebagai penyabung ayam. Adipati Kandadaha menjadi murka,
akhirnya membuat sayembara untuk membunuh Kamandaka.
Raden Silihwarni menyatakan sanggup melaksanakan sayembara tersebut. Raden Silihwarni sama sekali tidak tahu bahwa Kamandaka adalah Raden Banyak Catra, kakak kandungnya sendiri.
Raden
Silihwarni datang ketempat sabung ayam dengan membawa ayam jago yang
dikakinya sudah dipasangi Patrem (Keris kecil) pada taji jagonya. Pada
saat berhadapan dengan Raden Kamandaka, Raden Silihwarni melemparkan
jagonya ke arah Raden Kamandaka. Lambung kiri Kamandaka luka tersabet
keris patrem yang berada di kaki jago. Raden Kamandaka marah sekali dan
ayam jago yang melukai tadi langsung ditangkap dan dibanting hinga mati.
Pertengkaran terjadi dan Raden Silihwarni terkena tusukan keris di kkan lambung hingga
pingsan. Pengikut Raden Silihwarni yang bernama Ki Nitipraga tertusuk
keris Raden Kamandaka sampai tewas. Kemudian Raden Kamandaka
meninggalakan tempat sabung ayam itu dengan diikluti Ki Reksajaya.
Setelah
peristiwa sabung ayam itu Raden Kamandaka dikejar-kejar oleh prajurit
Pasirluhur dibawah pimpinan Raden Silihwarni. Raden Kamandaka dapat
terkejar oleh Raden Silihwarni dan terjadilah perkelahian sengit antara
kedua bersaudara yang masing-masing sudah tidak mengenal lagi. Tempat
perkelahian tersebut dinamakan “Pejogol”. Pengejaran terus dilakukan
bahkan dibantu oleh prajurit menantu Adipati Mersi. Raden Kamandaka lari
ke arah timur menuju kota
Purwokerto. Samapai di suatu tempat, Raden Kamandaka jatuh dan terluka.
Tempat dimana dia jatuh akhirna dinamakan sungai “Bodas”.
Perjalanan
terus dilakukan. Ketika samapai di sebuah sungai Raden Kamandaka
membasuh lukanya, darah keluar dengan derasnya sehingga tempai itu
dinamakan sungai “Bancaran” yang kemudian menjadi “Banjaran”. Untuk
melihat datangnya musuh, Raden Kamandaka naik ke lereng sungai
Banajaran. Tempat ini kemudian dinamakan “Sawangan” (Nyawang ; bahasa
Jawa).
Raden
Kamandaka melanjutkan perjalanan ke arah utara, kemudian be istirahat
di suatu tempat, yang kemudian dinamakan “Kober” (Semapat : bahasa
Jawa). Letak desa tersebut di dekat Stasiun Purwokerto. Kemudian
melanjutkan perjalanan menembus hutan belukar hingga sulit diikuti oleh
prajurit Pasirluhur. Desa tempat menerobos hutan belukar kemudian
dinamakan “Bobosan” (nerobos/menyusup). Dengan kekuatan batin Raden
Kamandaka mengetahui bahwa muhnya menggunakan anjing sebagai pelacak,
sehingga dia juga melepas anjing untuk menangkap anjing pelacak. Anjing
musuh dapat ditangkap dan dikurung di suatu daerah yang dinamakan
“Kurung anjing”, kemudian menjadi Karanganjing. Letaknya disebelah
timur Bobosan, sekarang termasuk dalam Kelurahan Purwonerogo.
Para
prajurit berjaga-jaga menantikan suara anjingnya menyalak, namun sampai
pagi hari tidak terdengar suara anjing menyalak. Kemudian mereka
mengetahui bahwa Raden Kamandaka telah menyeberangi sungi Banjaran
menuju barat. Mereka mengejar Raden Kamandaka sampai disuatu daerah ,
karena kemarahannya seperi banteng ketaton, maka daerah itu dinamakan
desa “Kedungbanteng”.
Di
desa Kedunbanteng terdapat batu sebesar rumah yang dikenal dengan nama
“Watu sinom”. Raden Kamandaka naik ke atas batu tersebut sambil
menantang Raden Silihwarni yang tidak lain adalah Raden Gagak Ngampar,
adik kandung Raden Kamandaka sendiri.
Raden Kamandaka terkejut begitu melihat Raden Silihwarni mengeluarkan
keris Kyai Mojang Pamungkas yang merupakan pusaka Kerajaan Pajajaran.
Saat itu terbongkar bahwa ternyata Raden Silihwarni adalah adik kandung
Kamandaka.
Raden
Silihwarni kemudian menceritakan maksud kedatangan ke Pasirluhur adalah
atas perintah Ayahanda untuk mencarikan kakaknya yang akan dinobatkan
menggantikan Ayahanda bertahta di Pajajaran.
Kemudian
dibuat sekenario, Ki Reksajaya diperintahkan pergi ke Karanganjing
untuk membunuh seekor anjing yang dikurung disana guna diambil hati dan
darahnya untuk diserahkan ke Adipati Mersi sebagai bukti kematian
Kamandaka. Kemudian Raden Kamandaka dan adiknya pulang ke Pajajaran.
Berita tewasnya Raden Kamandaka telah
tersiar ke seluruh Kadipaten Pasirluhur. Adipati Pasirluhur merasa puas
dan gembira setelah mendengar berita kematian Kamandaka yang
disampaikan oleh Adipati Mersi. Namun sebaliknya, Puri Ciptarasa sangat
bersedih skaligus ragu mendengar berita itu, karena sudah kedua kalinya
Kamandaka diberitakan meninggal dunia.
1. Tahta Kerajaan
Tidak
lama kemudan Raden Kamandaka alias Banyak Catra dan Raden Silihwarni
alisa Gagak Lampar telah sampai di Istana Pajajaran, diikuti oleh Ki
Reksajaya. Menjelang peresmian pergantian tahta Kerajaan Pajajaran yang
akan diberikan kepada Banyak Blabur (anak istri ke dua), yang menuntut
janji Prabu Siliwangi kepada istri keduanya bahwa kelak putranya yang
laki akan diberi kedudukan sebagai Putra Makhota.
Karena
harus memilih salah seorang antara Banyak Catra dengan Banyak Blabur,
maka Prabu Siliwangi membuat sayembara. Siapa yang dapat menemukan 40
orang putri kembar, maka dialah yang berhak naik tahta. Untuk mencari
syarat tersebut, Banyak Blabur pergi kea rah barat ke aerah Banten,
sementara Banyak Catra pergi ke arah timur yaitu ke Pasirluhur.
Banyak
Catra diringi oleh 2 orang abdinya yaitu Ki Gede Kolot dan Ki Klantung.
Setelah sampai di kaki Gunung Slamet kemudian mendirikan sebuah
padepokan yang diberi nama Batur Agung.
Menurut
wahyu yang diterima, Banyak Catra dianjurkan supaya bertapa di sebelah
timur Pasiruhur, yaitu di dekat tempuran sungai Logawa dan Sungai
Mengaji. Karena ketekunannya bertapa, Banyak cara memperoleh anugerah
dari Dewa berua baju ajaib. Jika baju Tersebut dipakai, maka ia akan
berubah menjadi seekor Lutung (kera).
Suatu ketika Raden Kamandaka menemui Dewi Ciptarasa dengan memakai pakaian Lutung. Akhirnya Dewi Ciptarasa tahu bahwa lutung
tersebut adalah si Kamandaka. Lutung itu kemudian dipelihara oleh Dewi
Ciptarasa sebagai hewan kesayangan yang sewaktu-waktu bisa berubah wujud
menjadi Raden Kamandaka.
Sementara itu Raden Pulebahas dari dari Nusakambangan berniat melamar
Dewi Ciptarasa. Dewi Ciptarasa bingung menerima lamaran itu. Kamandaka
menyarankan agar Dewi Ciptarasa menerima lamaran dari Prabu Pulebahas
tersebut dengan dua syarat. Syarat pertama, pada saat pernikahan, Prabu
Pulebahas tidak boleh membawa senjata maupun prajurit. Syarat kedua,
lutung yang mengiringi Dewi Ciptarasa tidak boleh diganggu.
Syaratnya
diterima Prabu Pulebahas dan pernikahan pun dilaksanakan pada waktu
yang telah ditentukan. Saat kirab pengantin atau pertemuan pengantin,
Lutung mendampingi Dewi Ciptarasa.
Saat
Prabu Pulebahas berbasa basi akan menggendong si Lutung, Lutung
tersebut menerkam prabu Pulebahas sehingga terjadi perkelahian yang
sengit. Akhirnya prabu Pulebahas tewas.
Adipati Kandhadhaha gusar karena Si Lutung sudah mengganggu perhelatan di Kadipaten Pasirluhur. Namun pada saat itu sang Lutung
berubah wujud menjadi Pangeran Banyak Catra. Maka kagetlah sang adipati
Kandhadhaha karena sang Lutung ternyata putra dari Prabu Silihwangi.
Akhirnya
hubungan Dewi Ciptarasa dengan pangeran Banyak Catra direstui oleh
Adipati Kandhadhaha hingga keduanya menikah dan hidup berbahagia.
TRAGEDI SABTU PAHING
Tragedi
Sabtu Pahing ternyata menjadi awal berdirinya Kabupaten Banyumas,
bahkan dalam perjalanan sejarah Banyumas sampai saat ini diyakini oleh
sebagian warga Banyumas dan sekitarnya bahwa hari itu menjadi hari naas
dan menghindari untuk bepergian jauh, mendirikan bangunan rumah, mbarang
gawe (sunatan, mantu dan mbesan) juga keperluan besar lainnya seperti
penyelenggaraan Pilkades dan sebagainya.
Tragedi
yang sangat memilukan ini menimpa Adipati Warggohutomo I, sepulangnya
dari Kasultanan Pajang. Tragedi ini menjadi ceremin betapa seorang pemimpin harus berhati-hati dalam bertindak dan tidak hanya mendengar laporan sepihak.
Seandainya
Sultan Pajang, Sultan Hadiwijaya mau melakukan konfirmasi lebih dulu
atas penuturan Demang Banyureka perihal status Rara Sukartiyah, putri
Adipati Wirasaba yang dikatakan sudah bersuami dan tidak
“suci” lagi, tentunya tidak akan terjadi peristiwa tragis seperti itu.
Penuturan sepihak itulah yang akhirnya membawa petaka bagi Adipati
Wirasaba. Sampai saat ini kejadian tersebut dikenal dengan “Tragedi Sabtu Pahing”.
Bagi Orang Banyumas, peristiwa tragis tersebut sangat di perhatikan
agar jangan sapai menimpa anak cucu dan generasi mendatang. Sebagian
masyarakat juga bertindak arif untuk tidak terlalu terpaku dengan hari
Sabtu Pahing sebagai hari naas, sejalan dengan penghayatan agama dan pandangan bahwa “semua hari itu baik”. Inilah kisah tragis yang menimpa Adipati Wirasaba sepulang dari Kesultanan Pajang.
Adipati
Wargautama beserta para pengiringnya dalam perjalanan pulang dari
Kasultanan Pajang menempuh jalan pintas yang tidak bisa dilewati umum.
Itulah makanya sulit sebenarnya para Tumenggung melacak perjalanannya.
Lagi pula pada kesempatan yang baik ini, sang Adipati memerlukan singgah
ke beberapa Demang dan Lurah dari Kadipaten yang dilewatinya.
Disini Adipati banyak memperoleh pengalaman baru tentang pemerintahan
pedesaan yang adapat diterapkan di Kabupatennya. Para Demang dan Lurah
yang disinggahinya merasa sangat senang dan bangga. Banyak diantaranya
yang menyampaikan tanda penghormatan berupa cindeta mata hasil kerajinan
setempat.
Sementara
itu, perjalanan pulang KI Adipati telah menginjak hari ke tujuh, hari
Sabtu Pahing, sampai di desa Bener Distrik Ambal Kabupaten Kebumen.
Menjelang shalat dhuhur Ki Adipati beserta para Pengiringnya singgah dan
beristirahat di rumah salah seorang sahabatnya yang rumahnya terdiri
atas rumah induk dan balai yang tidak se arah dengan rumah induk yang
biasa disebut dengan “Balai Malang” (Balebapang).
Kedatangan
Ki Adipati diterima seisi rumah dengan sangat senang hati. Jamuan makan
siang segera dihidangkan, salah satu lauknya yaitu “Pindang Banyak”
(Daging angsa yang dimasak dengan buah pucung atau kluwak). Selagi Ki
Adipati beserta para pengiringnya menikmati jamuan makan siang,
tiba-tiba datanglah Tumengung utusan Kanjeng Sultan (Tumenggung pertama)
yang mengemban tugas untuk membunuh Ki Adipati.
Melihat
Ki Adipati sedang menikmati hidangan, Tumenggung pertama tidak sampai
hati untuk membunuhnya. Kuda Dawukbang (merah campur putih) kesayangan
Ki Adipati yang ditambatkan dibawah pohon sawo di sisi rumah
merontaronta, seolah-olah mengetahui ada firasat buruk yang akan menimpa
Ki Adipati.
Firasat
buru juga telah dirasakan juga oleh Ki Adipati, karena ada hal-hal aneh
yang menyelimuti sekelilingnya, lebih-lebih ada seorang Tumenggung yang
menuju tempat ia beristirahat. Tumenggung pertama sabar menungu sampai
Ki Adipati selesai makan. Sementara itu dari kejauhan tampak olehnya
seorang kawan Tumengung (Tumenggung kedua) memacu kudanya dengan cepat
menuju ke arahnya sambil melambai-lambaikan tangannya seraya berseru
:”Jangan bunuh……”
Maka
demi tugas Kanjeng Sultan, Ki Adipati Wargoutomo I yang sedang
menikmati hidangan pindang banyak itu ditikam dengan keris Pusaka Kerato
Pajang. Semuan yang ada di pendopo itu geger dan gugup. Ki Adipati yang
naas itu terjatuh dengan darah segar mengalir dari dadanya. Para
pengiring dan pengawal tidak bisa berbuat banyak. Jeritan dan isak
tangis menggema di Balemalang itu. Mereka sadar bahwa Tumenggung
pembunuh itu membawa amanat Kanjeng Sultan. Melawan Tumenggung berarti
melawan Sang Prabu junjungannya.
Sementara
Ki Adipati Menahan sakit, para pengiring dan se isi rumah berusaha
menyelamatkannya, tibalah Tumenggung kedua. Menyaksikan peristiwa
berdarah yang memilukan itu hampir saja Tumenggung kedua jatuh pingsan.
Ia sangat berdosa karena gagal melaksanakan tugas, walaupun ia tidak
bersalah. Bukankah Tumengung kedua telah memberi isyarat dan berteriak
supaya Ki Adipati Wargohutomo I dibunuh ? Mengapa ia tidak memperhatikan
isyarat itu ? Atau mengapa ia menyalah artikan isyarat itu ?
Kedua
Tumenggung saling berpelukan menangis, terharu dana sedih. Kepada para
pengiring dan segenap keluarga tuan rumah Kedua Tumenggung iru
menjelaskan duduk persoalan peristiwa yang menyedihkan itu. Ki Adipati
sebenarnya tidak bersalah.Pembunuhan itu menjadi tanggung jawab Kanjeng
sultan Hadiwijaya sendiri.
Sebelum menghembuskan nafas terakhir, dengan serak dan tersendat-sendat sempat meninggalkan pesan terakhir kepada keluarga
(keturunan) yang ditinggalkan. “Aku…aku…tidak tahu apa dosaku kepada
Kanjeng Sultan….anak cucuku jangan sampai mengalami naas seperti
aku…ingat-ingat..,jangan sampai ada diantara anak cucuku yang bepergian
pada hari Sabtu Pahing, apalagi naik kuda Dawuk Bang. Juga jangan makan
pindang banyak (angsa) serta jangan membangun atau bertempat tinggal di
rumah “Bale Malang.
Sama
sekarang, pesan ini oleh orang-orag yang bersasal dari Banyumas
sekalipun bukan trah Ki Adipati Wargohutomo I, terutama oleh angkatan
tua, pesan ini masih sangat dipatuhi. Kalau tidak merasa terpaksa
sekali, mereka tidak akan bepergian pada hari Sabtu Pahing.
Menjelang
dini hari tibalah rombongan usungan jenazah di suatu pegunungan yang
sebagian besar masih berupa hutan. Mereka beristirahat sambil menyalakan
api unggun sekedar untuk mengurangi rasa dingin dan untuk menerangi
lingkungan sekitarnya. Menjelang subuh mereka bersiap-siap melanjutkan
perjalanan yang penuh duka itu. Sebagai kenang-kenangan , tempat dimana
mereka beristirahat ini diberi nama “Lawang Awu”(perbatasan antara
Kabupaten Banjarnegara dengan Kebumen).
Lepas
Dhuhur rombongan sudah sampai di Wirasaba yang disambut dengan isak
tangis para putra, para sentana, dan para kerabat dekat almarhum. Rakyat
Wirasaba menyambut dengn duka nestapa. Untuk beberapa jam jenazah
disemayamkan di Pendopo Agung Kabupaten untuk memberi kesempatan para
kerabat dan rakyatnya menyampaikan menyampaikan ucapan bela sungkawa
kepada keluarga dan penghormatan terakhir kepada almarhum.
Berdasarkan
keputusan musyawarah keluarga serta para pejabat Kabupaten, almarhumah
dimakamkan di Dukuh Pekiringan, Desa Klampok Kabupaten Banjarnegara,
disebelah selatan sungai Serayu. Di tembok (sebelah timur) makam
Ki Adipati, tertulis riwayat singkat wafatnya Ki Adipati dalam bahasa
jawa sebagai berikut :”Ki Adipati Wargohutomo I Ing Wirasabane kaleres
dinten Setu Pahing dipun sedani utusanipun Sultan Pajang (1548 – 1586),
pinuju lenggah wonten Bale Malang ing Dsun Bener, Distrik Ambal
(Kebumen) jalaran kadakwa kalepatan. Pandakwa wau saking seling serap.Ki
Adpati kagantos putra mantu Joko Kaiman ngagem asma Wargohutomo II
ketelah Ki Adipati Mrapat (Sumareh ng Dawuhan)”.
Maknanya
dalam bahasa Indonesia :”KI Aipati Wargohutomo I, pada hari Sabtu
Pahing dibunuh oleh utusan Stan Pajang (Sulatan Hadiwijaya) yang
memerintah antara tahun 1548 -1586, ketika seang berada di Balemalang di
desa Bener Kawedanan Ambal Kabupaten Kebumen, karena dituduh telah
berbuat salah. Tuduhan itu karena salah paham. Ki Adupati diganti oleh
putr menantunya Djoko Kaiman yang juga bernama Wargohutomo II, yang
terkenal dengan sebutan Ki Adipati Mrapat (dimakamkan di Dawuhan).
Makam
Ki Wargohutomo I kini telah dipugar oleh Pemda Kabupaten Banjarnegara
dan para pencintanya, disekitarnya telah dajadikan pekuburan umum yang
dikeramatkan banyak orang. Pada setiap malam Selasa dan Jumat Kliwon
banyak pengunjung yang bersemedi (nyepi) di dalam makam dengan berbagai
ragam permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Makam
Ki Adipati Wargohutomo I di tatah Wirsaba, tetapi secara administratif
Klampok, Kabupaten Banjarnegara, tapatnya di desa Pekiringan. Makam yang
dikeramatkan ini juga banyak dikunjungi oleh pezairah yang ingin
mendapakan berkan dan tujuan lain pada hari tertentu. Keramaian makam
ini dapat dilihat dari mengunungnya kemenyan yang tekah dibakar.
Itulah
cerita yang menjadi awal berdirinya Kabupaten Banyumas, semoga dapat
bermanfat bagi para pembacanya, serta dijadikan pelajaran/hikmah dari
peristiwa tersebut.
PENDAPA SI PANJI KAB. BANYUMAS
Masyarakat Banyumas sangat mengenal Si Panji, Pendapa Kabupaten yang sampai saat ini masih kokoh berdiri megah di kota
Purwokerto dan menjadi ‘’ Pujer” (pusat) Pemerintahan Kabupaten
Banyumas. Hingga ini Pendapa Si Panji masih dikeramatkan, khususnya pada
salah satu tiang sebelah barat yaitu soko guru (tengah) selalu diberi
sesaji agar semua kegiatan yang belangung di pendapa dapat berjalan
lancer tanpa ada gangguan.
Kisah-kisah misteri sering terdengar dari pendapa yang diboyong dari kota Banyumas ke Purwokrto dengan memutar ke Pantura, tidak melewati (nglangkahi) Sungai Serayu.
Kabupataen
Banyumas didirikan pada tahun 1852 ole Kyai Adipati Wargautama II yang
juga disebut sebagai Bupati Banyumas I dan dikenal sebagai Kyai Adipati
Mrapat. Dalam perjalanan sejarah, Adipati Yudongoro (Bupati Banyumas VII
/ 1708 – 1743) memindahkan pusat Kabupaten Banyumas agak ke sebelah timur dengan sekaligus membangun rumah Kabupaten berikut pendapa yang dikenal dengan Pendapa Si Panji.
Dalam
sejarahnya, pendapa yang legendaries ini sering memunculkan keanehan
dan cerita mistis, misalnya pada tanggal 21-23 Februari 1861, kota
Banyumas dilanda banjir banding (Blabur Banyumas)karena meluapnya
Sungai Serayu. Puluhan pengunsi berusaha menyelamatkan diri dengan naik
ke atas (atap) Pendapa Si Panji. Setelah air bah surut, ternyata pendapa
ini tidak mengalami kerusakan atau perubahan sedikitpun pada keempat
tiangnya (saka guru). Posisi pendapa juga tidak bergeser sedikitpun
padahal bangunan disekitarnya roboh karena diterjang banjir setinggi
lebih dari 3,5 meter.
Misteri
lain, ketika pendapa itu akan dibangun, semua sesepuh dan atokoh
masyarakay Banyumas supaya menyumbangkan calon saka guru pendapa maupun
bahan bangnan yang lain. Semua tokoh masyarakat telah memenuhi
permintaan sang Adipati, kecuali Ki Ageng Somawangi, sehinga ia dipangil
untuk menghadap Adipati Yudonegoro II untuk diminai keterangannya. Ki
Ageng Somawangi menghadap memenuhi pangilan sang Adipati. Untuk menebus
kesalahannya, pada saat itu pula ia langsung menyerahkan saka guru
pendapa yang ia ciptakan dari “tatal” dan pontongan-potongan nkayunyang
berserakan disekitar komplek pembangunan itu. Hal itu tidak disambut
baik oleh sang Adipati, bahkan diangap suatu perbuatan yang “pamer
kadigdayan”. Akibatnya ia malah dituduh akan “menjongkeng kawibawan”
(mengambl alih kekuasaan) Sang Adipati.
Atas
tuduhan yang kurang adil itu, Ki Ageng Somawangi marah, segera
meningalkan Kadipaten tanpa pamit. Sang Adipati sangat tersingung dan
menyuruh prajuritnya untuk menangkap Ki Ageng Somawangi yang dianggap
“ngungkak krama” (membangkang) itu. Namun karena kesaktiannya, ia dapat
lolos dari upaya penangkapan. Konon tongkat saktinya ditancapkan di
suatu tempat dan berubah wujud menyerupai Ki Ageng Somawangi. Sontak
para prajurit menganiaya Ki Ageng Tiruan. Ki Ageng Somawangi
melanjutakan pelarian menyimpang dari jalan raya, menerobos melalui
jalan setapak menuju padepokannya yang sekarang dikenal dengan Desa
Somawangi Kecamatan Mandiraja Kabpaten Banjarnegara. Desa dimana Ki geng
Somawangi menerobos untuk menghindari kejaran Prajurit Banyumas,
kenudian diberi nama “Panerusan”. Dengan ddemikian diketahui bahwa ada
saaat awal pembangunan Pendopo Si Panji sempat menimbulkan ontranonran
tokoh Banyumas itu.
SAKA GURU KERAMAT
Cerita
lain dari cuplikan “Babad Banyumas” menyebutkan bawha salah satu tiang
utama (saka guru) pendapa Si Panji yan dikeramatkan, berasal dari hutan
belantara di hulu Sungai Serayu. Dari cerita yang berkembang, kayu yang
telah digunakan sebagai ting itu ingin kebalilagi ke hutan yang sangat
angker itu. Sampai saat ini saka guru yang masih kokoh itu katanya ada
penunggunya berupa sosok ular dan seorang kakek berjenggot panjang.
Setelah
ada pengabunyan Kabupaten Banyumas dengan Kabupaten Purwokerto tahun
1936 atau prakarsa Adipati Arya Sudjiman Gandasubrata (Bupai Banyumas
XX), pada Bulan Janauari 1937 pendpa Si Panji dipndahkan dari Banumas ke
Purwokerto. Berdasarkan uara gaib dan petunjuk dari para sesepuh
Banyumas dan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, maka
pemindahan pendapa I Panji yang keramat itu tidak melewati Sungai
Serayu, tetapi melewati pantai utara Jawa (Pantura), Semarang ke barat,
Bumiayu, Ajibarang, kemudian sampai ke Purwokerto.
Ada beberapa argumentasi mengapa pendopo Si Panji dipindah ke Purwokerto. Ada sasmita bahwa kelak kota Purwokerto akan maju pesat dan menjadi kota perdagangan dan pusat pemerintahan. Pemindahan pendopo sbagai symbol pengakuan betapa kota Banyumas sulit bekembang, karena dak ada jalur kereta api, lahan kota sempit, dan akses ke lar tidak berkembang. Maka saat itu pun kota Banumas sepi dan sulit berkembang.Hal ini membuktikan apa yang diprograkan oleh Bupati Sdjiman Gandasubrata itu benar.
Untuk
mengenang kebesaran pendapa Si Panji, Pemda Kabpaten Banyumas telah
membangun “dulpilkat” pendpa di bekas bersdirinya Pendapa Si Panji.
Namun tidak sesuai dengn aslinya bahkan terkesan lebih mewah dari
pendapa Si Panji yang ada di Purwokerto.
Dari
rangkaian sejarah, ternyata sejak pebangunannya sudah ada aura mistis
dan pertentangan tokoh, pernah menjadi pengungsian puluhan penduduk yang
naik ke atas pendapa dan tidak ada kerusakan saat banjir banding.
Perjalanan sejarah selanjutnya pendapa yang keramat ini tidak mau
melewati Sungai Serayu dan di arak lewat Semarang (Pantura) smapai ke kota
Purwokerto. Suatu hal aneh yang samapai saat ini belum terkuak adalah
alas an mengapa pemindahanyya tidak boleh melewati Sungai Serayu, tetapi
harus melewati ratusan kilometer memutar Jawa Tengah.
BANJIR BANDANG MELANDA KOTA BANYUMAS
Masyarakat
Banyumas yang kebetulan lewat dan singah di komplek Pondok Pesantren
GUPPI Bayumas akan terkesima jika melihat “Prasasti” bani banding yang
melanda Banyumas pata tanggal 21 – 23 Februari 1861. Prasasti yang
ditempelkan di tembok bagian selatan gedung yang persis di pintu masuk
kompleks mengunakan bahasa Belanda. Letaknya persis mengambarkan
ketinggian air bah yang sampai ke langit-langit gedung tinginya sekitar
3,5 meter. Saat itu gedung masih dipakai untuk kantor Karesidenan
Banyumas. Pasasti yang terbuat dari marmer tersebut menjadi saksi
sejarah satu-satunya yang menerankan bahwa kota
Banyumas pernah dlanda banjir besar. Bahkan para sesepuh kala itu sudah
mendapat firasat yang digambarkan dengan sasmita, terkenal dengan nama
sasmita “Bethik mangan manggar”.
Semula
semua orang tidak dapat menafsirkan apa makna dibalik kata-kata itu.
Sesudah bencana banjirterjadi, barulah orang mengetahui makna yang
tersirat dalam ucapan simbolik itu. “Bethik” adalah nama jenis ikan air
tawar yang banyak hidup si sungai Serayu, sedangkan “Manggar” adalah
adalah bunga pohon kelapa.
Pohon kelapa yang sudah berumur kurang
lebih 7 tahun kira-kira tinginya sudah mencapai 3-4 meter, biasanya
sudah bermanggar. Jadi “Bethik mangan manggar” (Ikan bethik makan
manggar) memberi lambang bahwa ikan yang hidup di air sungai dapat
mencpai manggar yang berarti puncak pohon kelapa. Itu menyiratkan bahwa
akan terjadi banjir yang cukup besar.
Pasca
terjadi banjir besar, Kanjeng Raden Adipati Cakranegara I berhasil
mengatasi kesulitan rakyat akibat bencana banjir, sehingga mendapat
anugerah berupa Bintang “Ridder Ode Eikken Kroon” dari pemerintah
Belanda. Sjak saat itu beliau juga mendapat julukan Kanjeng Ridder.
Banjir
atau blabur Banyumas yang menjadi rangkaian sejarah Banyumas tidak akan
terulang lagi, jika masyarakatnya sadar akan pentingnya penghijauan dan
pelestarian alam. Jika kita lihat konisi saat ini, sepertinya banji
besar tiak akan terlang lagi karena factor perubahan alam. Sungai Serayu
tidak garang lagi, ada bangunan bendungan dan irigasi yang bisa
mengatur alian air.
Kejayaan kota
Banyumas dapat dihidupkan kembali dengan mendirikan sekolah/perguruan
tinggi, pusat perbelanjaan, taman budaya, serta perbaikan inra struktur.
Program pembangunan tidak hanya dipusatkan di kota Purwokerto saja, tetapi kota Banyumas “disleberi” dana yang cukup dan para infestor mau menanamkan modalnya di kota yang bersejarah tersebut.
KISAH CURUG CIPENDOK
Konon
dahulu akala di lereng gunung Slamet yang indah terdapat sebuah pousat
pemearintahan setingkat Kawedanan. Rakyatnya ahidup aman dan tenteram,
disamping mempunyai jiwa gotong-royong yang tinggi sebagai ciri khas
masyarakat Banyumas. Sang penguasa pusat pemerintahan tersebut bernama
Dipakesuma. Karena kearifan dan kebijakan sang Wedana, dia disegani oleh
para wedana tetangga dan masyarakat di daerah Ajibarang.
Suatu
hari sang Wedana memanggil Hulubalang dan orang-orang kepercayaan
nyanuntuk membicarakann keinginannya untuk menjadi Bupati Purbalingga
atau sekitarnya.
Setelah
menyerahkan mandat penuh pemerintahan kepada wakilnya untauki
semeantara, pergilah sang Wedana untuk bertapa agarb maksudny terkabul.
Pada
suatu hari sang Wedana ditremui oleh makhluk halus sebagai pertanda
dalam bertapa akan membuahkan hasil untuk mencapai cita-citanya. Banyak
versi yang mentnyebutkan bahwa makhluk halus itu berwujud peri menyerupai putri cantik sebagai perlambang dipenuhinya keinginan sang Wedana.
Dari
pertemuan tersebut ada beberapa kejadian aneh yang menyelimuti sang
Wedana, antara lain sering berbicara sendiri yang kemungkinan tengah
terjadi komunikasi antara dirinya dengan Sang Peri. Bahkan para pengikut
sang Wedana terheran-heran mengapa Sang Wedana kelihatan aneh.
Laku
tapa sang wedana terus berlanjut . Setelah menempuh perjalanan ke utara
ke arah di lereng gunung Slamet, tibalah dia di daerah Pekowen dekat
curug. Sang Wedana bertapa di kawasan yang sepi dan penuh misteri itu.
Karena kemantapan dan ketekunannya dlam bertapa, dia amendapat petunjuk
dari dewata agar pindah lagi bertapa ke daerah Sudem.
Pada suatu hari Sang Wedana memangil Hulubalang dan orang-orang kepercayaannya untuk menjadi penguasa yang lebih tinggi, sekaligus memohon doa restu kepada yang di undang.
Suatu
hari Sang Wedana mendapat wangsit, kalo cita-citanya ingin terkabul ia
harus menikahi Putri Peri cantik penguasa Cipendok. Tetapi antara
Dipakesuma dan Putri Peri ini tidak bisa terjadi perkawinan, karena alam
kedua insan ini berbeda. Maka satu-satunya jalan yang ditempuh, putri
peri itu masuk/Mnjing ke raga Padange (tukang masak nasi). Sang Wedana
menikah dengan Padange yang sudah dimasuki arweah Putri Peri dari Gunung
Slamet.
Setelah
menikah, Sang Wedana dapat menaiki tahta sebagai Bupati. Kisaqh cinta
sang Wedana dengan Putri Peri dari Cipendok ini memang menarik, tetapi
mungkin hanya dongeng yang berkembang layaknya kisah-kisah misteri lainnya yang banyak terdapat di kawasan Gunung Slamet.
Legenda
tersebut ternyata banyak versinya, tanpa menyinggung perasaan para
leluhur dan trah sang Wedana. Itulah kenyataan cerita yang berkembang
bahwa Sang Wedana menjalin asmara
dengan Putri Peri yang rupawan. Apakah ini merupakan “sanepo”, kita
belum mengetahui scara pasti, karena legenda ini berkembang dari mulut
ke mulut dan turun temurun dari generasi ke generasi.
Sampai
saat ini belum diketahui secara pasti apa arti nama Cipendok, tetapi
yang jelas disekitar kawasan ini banyak nama yang didahului kata “Ci”
seperti Cilongok, Cihonje, Cidora, Cikaka, Cikembulan dan lain-lain.
Kawasan Ciupendok kini makin dikenal dan menjadi salah satu obyek wisata
Kabupaten Banyumas.
SEJARAH GEDUNG KESENIAN SOETEDJO PURWOKERTO
Pada tanggal 5 Maret 1937 Bupati Banyumas K.R.A.A. Soedjiman Mertadiredja Gandasoebrata pindah dari Banyumas ke Purwokerto. Sedangkan resident tetap bertempat di Banyumas.
K.R.A.A. Soedjiman Mertadiredja Gandasoebrata merasa perlu mengadakan perbaikan kota Purwokerto. Oleh karena alun-alun Purwokerto tidak memberikan pemandangan yang menyenangkan maka tennisbaan
yang berada di alun-alun timur dipindahkan ke depan Sekolah Pertukangan
(sekarang 2009) adalah SMK / STM Negeri 1 Purwokerto di Jalan Sekolah. Rumah kethoprak di tengah alun-alun di depan masjid dipindahkan ke Pasar Manis
(sekarang 2009) Jl. Jend. Gatot Subroto dan akhirnya rumah ini
diperbaiki sampai merupakan sebuah gedung gambar hidup, yang kemudian
menjadi gedung bioskop “Indra”, kemudian pada tanggal 14 Maret 1970 dengan SK Bupati No. 36 / 3 / VI / KDH nama gedung Indra dirubah menjadi “Gedung Kesenian Sutedja” pada masa pemerintahan Bupati Soekarno Agoeng, Bupati Banyumas ke 25 (1966 – 1972).
Gedung
tersebut dapat pula digunakan untuk pertunjukan wayang orang,
sandiwara, rapat-rapat dsb. Warung-warung yang berderet di sebelah
selatan halaman masjid dibongkar kemudian pada tempat itu didirikan
sebuah bangunan beton terbagi dalam beberapa toko-toko kecil.
Uang yang dibutuhkan untuk perbaikan ini sebagian diambil dari kas masjid dan sebagian terdiri dari pinjaman Steunfonds Algemeene Nut. Maka dari uang sewa took-toko tadi diserahkan kepada kas masjid dan gedungnya menjadi milik masjid.
Beberapa
perubahan yang belum diceritakan yaitu pos penjagaan alun-alun sebelah
barat dibongkar, tembok depan direndahkan sehingga pendopo kelihatan
dari luar. Bagian pendopo tempat parkir mobil Bupati yang berbentuk “bale malang” dipindahkan ke samping timur (kiri pendopo).
Bentuk
alun-alun Purwokerto seperti juga kabupaten lain umumnya memang terbagi
dua, kecuali alun-alun kraton. Pada masa itu yang menimbulkan banyak
reaksi adalah penggantian pendopo.
Pada waktu jaman Mataram alun-alun kabupaten dengan dua beringin kurung memang dilarang raja karena dianggap menyaingi raja. Bupati Banyumas Yudanegara V
dipecat antara lain karena menanam beringin kurung. Tetapi agaknya
Pemerintah Hindia Belanda justru menganjurkan alun-alun terbelah dua
dengan dua beringin kurung.
Dicuplik dari Buku Peringatan Sadranan
Yayasan Pesarean Dawuhan Banyumas
Pada hari Ahad Wage, 24 Agustus 2008
Karya tulis Dr. Soedarmadji, Ketua Harian Yayasan.
KESENIAN TRADISIONAL BEGALAN
Begalan atau rampok yang terdengar menyeramkan, dalam kebudayaan tradisional Banyumasan hanyalah merupakan nama kesenian yang bukan hanya menyajikan hiburan
semata, tetapi sudah menjadi “sesaji” ritual bagi masyarakat banuumas
yang mempercayainya. Kesenian ini tumbuh di wilayah eks Karesidenan
Banyumas (Banyumas, Purbalingga, Banjarnrgara, dan Cilacap). Masyarakat
Banyumas yang kini nbermukim di Jakarta, Semarang, Surabaya, dan kota0kota besar lainnya masih mempercayai begalan sebagai pelengkap upacara pernikahan.
Begalan umumnya dilaksanakan oleh pihak orang tua Pengantin putri yang
baru pertama kali melaksanakan “mbarang gawe” (hajatan). Maka tidak
heran jika group-grpu kesenian Begalan lebih sering pentas diluar
Banyumas dari pada di wilayah Banyumas sendiri.
Seni
begalan sudah ada sejak ratusan tahun silam. Sejarah seni begalan yang
berakar dari budaya Banyumasan telah mengalami pasang surut, bahkan
generasi muda sekarang sudah banyak yang tidak mengerti atau buta sama
sekali dwengan kesenian begalan.
Ada
beberapa versi seni begalan namun yang banyak ditulis dalam sejarah dan
riwayat Banyumas menyatakan bahwa saeni begalan ada sejak jaman Adipati
Wirasaba yang ketika itu mengawinkan anak (putri) yang bernama Dewi
Sukesi dengan putri sulung dari dari adipati Banyumas yang berbama
Pangeran Tirtakencana, ada yang menyebut terjadi pada abad ke 19.
Dari
perkembangan dan pasang surutnya seni begalan, diketahui bahwa begalan
adalah suatu jenis kesenian yang merupakan rangkaian upacara perkawinan
di daerah Banyumas dan sekitarnya. Biasanya dilakukan apabila pasangan
pengantin terdiri dari anak bungsu dan anak sulung, terutama kalau yang
bungsu atau sulung dari piohak perempuan. Menurut kepercayaan masyarakat
banyumas, seni begalan merupakan syarat “krenah” yangh harus dilakukan
apabila menjodohkan anaknya, merupkan syarat yang penting.
Sebagian masyarakat Banyumas juga ada yang berpendirian, tidak setiap mengawinkan anaknya harus menggelar seni begalan. Ada
keyakinan begalan juga mirip ruwatan. Seni begalan bukan semata-mata
merupakan suatu hiburan atau pertunjukan belaka sebab dalam aksi dan
dialognya berisi ajaran atau tuntunan dan ular-ular yang ditujukan
kepada mempelai berdua. Sarana begalan seperti ilir, ukusan, kendil,
padi, serta berbagai peralatan dapur lainnya mengandung makna tertentu.
Biasanya para pelaku begalan menjelaskan makna peralayan begalan
satu-persatu, yang semuanya mengandung permohonan/doa kepada sang maha
kuasa agar mempelai berdua dapat mengarungi bahtera rumah tangga dengan
sakinah warohmah dan mawahdah yang dalam bahasa begalan disebut keluarga
langgeng “Kaya Mimi lan Mintuna, nganti Kaken-kaken Ninen-ninen”.
Pada
mulanya pelaku seni begalan tidak dibayar, bahkan lebih cenderung
menolong, semata-mata merupakan tradisi ruwatan agar upacara pernikahan
dapat berjalan lancar. Keturunan warga Banyumas yang ada diluar daerah
bahkan harus bersusah payah mencari group begalan yang
berlualitas.. Dari kbiasaan ditanggap inilah yang kemudian seni begalan
masuk ke rahan entertainment dan memasang tarif yang cukup besar dalam
setiap pementasan.
Begalan
bewrasala dari kata begal dan akhiran an, artinya perampasan atau
tindak perampokan di tengah jalan. Maka kesenian begalan adalah suatu
atraksi yang menggambarkan seseorang yang sedang membawa barang bawaan
kebutuhan hidup, kemudian dirampok di tengah jalan. Dengan diiringi
genhing-gendhing khas Banyumasan mereaka melakukan diaek serta pesan
moral yang diselingi banyolan, sindiran, sekaligus petuah kepada para
penontonnya. Gendhing yang dipilih biasanya bernada dinamis dana suasana
riang untuk menghidupkan suasana.
Ketika
suara genghing berhenti, mulailah para pembegal memperkenalkan diri dan
terjadi dialog. Seperti layaknya tukang begal, maka ada adegan
pertengkaran dan adu mulut, sambil menjelaskan arti dan makna barang
bawaan yang semuanya dikemas dalam “brenong kepang”(semacam pikulan).
Masyarakat yang mernonton biasanya mengharapkan momentum berebut benda
yang ada di brenong kepang. Mereka percaya jika dapat
merebut/mendapatkan benda-benda-begalan akan mendapat berekah.
Dalam
perkembangannya seni begalan dianggap bertentangan dengan agama
(Islam), karena jika tujuannya hanya untuk mengusir roh jahat makalebih
afdol jika cukup dengan membaca doa bersama agar mempelai berdua dapat
selamat dan bahagia.
Perkembangan
lebih lanjut, begalansemakin surut peminatnya seiring dengan perubahan
jaman. Untuk melestarikan seni tradisional ini Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata belum lama ini telahg menyelenggarakan seminar tentang
begalan. Dinbudpar juga terus menggali, melestarikan, mengembangkan dan
memberdayakan potensi pariwisata dan kebudayaan dalam rangka mewujudkan
Banyumas sebagai kawasan cagar budaya, agar generasi muda dapat lebih
tertarik memahami seni begalan, tidak hanya sebatas “krenah” dalam
upacara pernikahan.
KISAH BATURRADEN
Baturraden
sudah dikenal sebagi tempat pariwiata dan tempat peristirahatan sejah
tahun 1928. Pada waktu iatu banyak pejabat dn staf Pabrik Gula dari
Puworejo, Kalibagor, Sumpiuh Purbalingga dan Klampok membangun rumah
peristirahatan di kawasan Baturraden. Berdirinya komlek perumahan
pribadi para Tuan Besar tersebu mendorong perkembangan Baturraden
sebagai daerah wisata sekaligus tempat peristirahatan yang nyaman.
Satu
peningalan yang masih utuh sampai sekarang adalah kompleks Induk Taman
Ternak Baturraden (Sekarang dikenal BPTHMT) yang didirikan oleh warga
Belanda, Tuan J.C Balgoy. Perkembangan sanjutnyalokasi tersebut kini
bernama Balai Pembibitan Ternak dan Hijauan Makanan Ternak, terutama
ternak sapi unggul milik Dirjen Peternakan, Departemen Pertanian.
Baturrraden
sejak semula memang memiliki daya tarik. Walaupun pada masa revolusi
baturaden telah di bumi hanguskan, tetapi kenangan sebagai tempat
rekreasi tetap melekat di benak masyarakat Banyumas. Pada aat liburan
sekolah, banyak anak-anak atang ke abaturaden untuk melihat Taman Ternak
Baturraden yang sekitar tahun 1950 koleksinya masih lengkap dengan
ternak sapi, domba gibas, ayam ras, babi dan sapi perah.
Karena
daya tarik Baturraden yang menawan dan cocok untuk rekreasi, maka pada
pahun 1952 timbul pemikiran dari Pemda Kabupaten Banyumas untuk
menhidupkan Baturraden sebagai tempat brekreasi dan tempat
peristirahatan. Perkembangan selanjutnya baru terwujud pada tahun 1967,
diprakaarsai oleh Bupati Banyumas pada saat itu, Almarhum Soekarno
Agung.
Pemda
Kabupaten Banyumas pada saat itu mengumpulkan okoh-tokoh masyarakat
dari berbagai bidang dan keahlian untuk ber rembug usaha menghidupkan
daerah wisata Baturraden.
1. Gunung Slamet
Obyek
wisata Baturraden yang merupakan tempat wisata pegunungan juga
dikelilingi oleh hutan tropis yang masih asli dan terpelihara dengan
baik. Lokasinga di lereng Gunung Slamet sebelah selatan. Gunung slamet
tainginya kurang lebih 3.428 M membuat suhu Baaturraden sejuk yaitu
antara 18 – 25 drajat celcius dengan curah hujan antara 5.000 mm – 8.000
mm.
Fsilitas
yang tersedia saat ini meliputi tempat penginapan (hotel, villa, moel
dan losmen), lapangan tennis, kolam renang, permainan anak, restaurant,
rumah makan, tempat parkir, pemandian air hangat yang berkhasiat
menyembuhkan penyakit kulit.
Fasilitas
pendukung lainnya adalah kios cindera mata/souvenir, penjalan tanaman
hias, angkutan wisata, biro perjalanan, tepepon umum/wartel, warnet, dan
jalur hiking mengelilingi hutan wisata. Sebelah timur lokawisata
tersedia tempat erkemahan Wana Wisata, yang dikelola oleh pihal
Perhutani Banyumas.
Gunung
Slamet merupakan gunung berapi yang masih aktif yang pada bulan April
(2009) kemarin sempat ber akrtivitas dengan status Siaga namun belum
membahayakan. Letaknya persis di tengah-tengah Pulai Jawa, oleh
masuarakat Jawa Tengah diberi julukan “Pakunya” Pulau Jawa. Gunung
Slamet konon menyimpan banyak misteri, hutannya masih
perawan dan kaya akan erbagai jenis flora dan fauna, serta merupakan
sumber kehidupan dimana amengalirkan air untuk irigasi sawah di banyumas
dan sekitarnya.-, sehingga dijadikan salah satu lambang Daerah
Kabupaten Banyumas. Jika dikaitkan dengan tembang kroncong :Ditepinya
sungai Serayu”, maka gunung Samet berkaitan erat dengan kemakmuran
masyarakat Banyumas.
Para
pencinta alam dan pendaki gunung tidak akan melewatkan untuk mendaki
gunung Slamet sampai pada puncaknya. Karena dari puncak gunung inilah
dapaat disaksikan hamaparan wilayah Banyumas sertra laut selatan/Samudra
Indonesia.
2. Kisah Baturraden
Ada
beberapa versi asal mula Baturraden. Namun akan di ambil kisah yang
berkaitan dengan legenda Kadipaten Kutaliman, yang dulu terletak kurang
lebih 5 Km sebelah Barat Daya Baturraden.
Dikisahkan
jaman dulu kala Adipati Kutaliman mempunyai empat orang putri. Salah
seorang putrinya ternyata jatuh cinta kepada seorang Gamel (pembantu) yang
bertugas mengurusi kudanya Sang Adipati. Mendengar berita cinta gelap
yang tidak setara tersebut, murkalah Sang Adipati sehingga keduanya
diusir dari Kadipaten tersebut. Mereka ahirnya mengembara.
Dalam
pengmbaraan, Sang Putri melahirkan seorang bayi putra di tepi sebuah
sungai, yang dikemudian sungai tersebut dinamakan “Kaliputra”, terletak 3
Km sebelah utara Desa Kutaliman. Dalam pengembnaraan selanjutnya mereka
menemukan suatu tempat yang indah mempesona dan udaranya sejuk di
lereng Gunung Slamet. Mereka menetap di kawasan tersebut dan mendiriklan
sebuah padepokan yang diberi nama Batur Raden, dari perpaduan antara
Batur (abdi yaitu Gamel) dan Raden (Sang Putri yang berdarah Bangsawan
putrinya Adipati). Kemudian banyak yang menyebut “Baturaden” ataupun
“baturraden” dengan dua huruf “r”.
Ada versi lain yang menarik sekitar nama baturraden yaitu kisah perjalanan Syeh Maulana Maghribi di kota Gresik (Jawa Timur). Pada suatu ketika Syeh maulana Maghribi melihat cahaya terang disebelah barat. Kemudian beliau
mengembara untuk mencari cahaya yersebut sambil menyebar agama Islam,
ditemani sahabat karibnya yang bernama Haji Datuk. Dalam
pengembaraannya, Syeh Maulana Maghribi berganti nama menjadi Mbah Atas
Angin.
Yang
memancarkan cahaya tadi ternyata seorang pertapa yang kemudian memeluk
agama Islam dan menjadi pengikut Syeh Maulana Maghribi, dan diberi nama
Syeh Djambukarang. Nama tersebut di ambil karena dalam bertapa ia
bersandaran pohon jambu dan dikelilingi batu-batu karang. Dalam
perjalanan waktu, Mbah Atas Angin kemudian menjadi menantu Syeh
Jambukarang.
Pada
suatu waktu konon Syeh Maulana Maghribi menderita penyakit gatal-gatal
atau buduk yang tidak kunjung sembuh. Atas petunjuk wisik ia akan sembuh
jika berendam di air panas yang mengalir dari Pancuran Pitu di Gunung
Gora. Belakangan diketahui bahwa air panas tersebut bisa menyembuhkan
karena mengandung belerang, zat penyembuh penyakit gatal.
Karena
merasa bersyukur sembuh dari penyekit gatal itulah maka Gunung Gora
alalu diganti nama menjadi Gunung Slamet. Samapaia sekarang pancuran
pitu banyak dikunjungi orang untuk kepentingan berobat dari penyakit
gatal.
Selama
Syeh Maulana Maghribi melaksanakan pengobatan di pancuran pitu, Sahabat
setianya, Haji Datuk dengan setia menunggu. Tempat itu lalu diberi nama
“Rusuludi” yang berarti batur yang Adi, kemudian banyak yang menyebut
Baturaden. Sampai sekarang tempat tersebut masih dikeramatkan dan banyak
di zirahi orang khususnya pada malan Selasa dan Jumat Kliwon. Yang
lebih unik lagi, banyak pasangan pengantin dari daerah utara (Bumiayu,
Tegal dan sekitarnya), denganm masih mengenakan busana pengantin lengkap
mengadakan kirab pesiar ke Baturraden.
Nama
Baturraden lebih mencuat pada tahunn 1990, karena dijadikan ajang
penyelenggaraan Pekan Pariwisata Jawa Tengah (PPJT) III/Tahun 1990. PPJT
merupakan ajang untuk mepromosikan kepsariwisataan daerah Jawa Tengah
dalam rangka menggali potensi emas merahguna mendukung pembangunan
nasional umumnya dan pembangunan daerah Jawa Tengah Khususnya.
Bagi
Kabupaten Banyumas, PPJT merupakan momen yang sangat baik dalam rangka
memperkenalkan obyek wisata Banyumas, khususnya Baturraden agar lebih
dikenal lagi. PPJT juga dijadikan titik awal pembangunan kawasan
Baturraden dalam rangka menuju kawasan wisata yang menyenangkan dan
berwawasan lingkungan dengan tetap mempertahankan sebagai obyek wisata alam yang sangat menarik.
MASKOT BAWOR
CERMIN WATAK ORANG BANYUMAS
Masyarakat
wilayah eks Karesidenan Banyumas sangat mengenal sosok punakaaawan yang
bernama Bawor, anak Ki Lurah Semar dalam cerita pewayangan. Diluar
Banyumas sosok ini bernama Bagong.
Watak
sosok Bawor dikenal cablaka (terus terang), jujur, lugu, saru, tapi
sangat setia pada majikannya, sehingga sebagian besar Wong Banyumas
senang dan cocok jika Bawor menjadi “Maskot” sekaligus mencerminkan
simbol “Wong cilik” mesipun mempunyai sifat jelek yaitu “Clamit”(suka
minta-minta) tetapi terus terang dan tidak munafik, kalau ya mengatakan
ya dan kalau tidak mengatakan tidak.
Maskot
(semacam azimat) tidak prlu dituangkan dalam Perda ATAU Surat Keputusan
Bupati, karena ia lahir dari kemauan masyarakat Banyumas. Sosok Bawor
juga menjadi logo resmi setiap kali ada event besar di Kabupaten
Banyumas seperti pada kejuaraan KRAP (Kejuaraan Renang Antar
Perkumpulan) tingkat Nasional pada tahun 1990, Klegiatan Seminar Tingkat
Nasional sampai hiasan lampu besar di Purbalingga, menggunakan maskot
Bawor.
Sosialisasi
sosok Bawor sebagai maskot Kabupaten Banyumas bermula saat Bapak Joko
Sudantoko menjabat Bupati tahun 1988 – 1998. Lewat otak-atik bagian
Humas Protokoler Setda Kabupaten Banyumas yang secara iseng menyodorkan
logo untuk spanduk dan penerbitan buku Hari Jadi Kabupaten Banyumas
serta berbagai selebaran yang memasang gambar bawor.
Ternyata
Bapak Joko Sudantoko berkenan dan sering mengkampanyekan sosok bawor
yang cablaka cocok dengan watak Wong Banyumas. Sehingga sejak tahun 1989
setiap ada spanduk, penerbitan buku, atau selebaran selalu mencantumkan
Bawor (pada saat itu belum di plot sebagai maskot), tetapi kemudian
Pemda Banyumas dan masyarakat sering memakai sosok bawor dalam aneka
kegiatan/ enent penting. Tetapi tidak ada SK atau Perda yang menetapkan
bawor sebagai maskot Weong Banyumas. Jadi sekiranya ada yang keberatan
mengapa harus bawor, Bagian Humas Setrda dengan enteng menjawab itu bukan maskot resmi dan tidak ada dasar hukumnya, hanya spontanitas yang sudak memasyarakat.
Ada
warga yang mengusulkan supata tokoh bawor diganti dengan Janoko
(Arjuna) atau Bima (Werkudara) agar lebih pas dengan motto Banyumas
yaitu SATRIYA. Itipun masih ada yang menyanggah karena sosok Janoko
(Arjuna) mempunyai watak “thukmis” (mata keranjang)
Daftar Pustaka
- Peraturan Raerah Kabupaten Banyumas Nomor.2 Tahun 1990 Tentang Penetapan Hari Jadi Kabupaten Banyumas.
- sarwan Adisarwono, Drs. Riwayat Banyumas, “Tiga Serangkai”, Surakarta, 1985.
- Bambang S. Purwoko, Naskah Seminar Lokakarya, 2008.
- Brosur dan cacatan promosi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyumas.
Motto SATRIA
Sosok
bawor yang sering memakai asesoris kalung dileher yang bertuliskan
SATRIA, tidak ada hubungannya dengan filosofis Motto Sejahtera, Adil,
Tertib, Rapi, Indah dan Aman. Masyarakat memaklumi itu hanya asesoris
“iseng” yang tidak terkontrol pada saat gambar diluncurkan pertama kali.
Karena sudah terlanjur memasyarakat, maka kepada pihak yang berwenang
atau Bagian Humas Kabuapaten Banyumas untuk merefisi jika masih ada
maskot bawor yang memakai kalung bertuliskan SATRIA.
Aspek
filosofis SATRIA, merupakan perwujudan sikap mental seseorang yang
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Menurut kamus umum Bahasa Indonesia
(WJS. Purwodarminto) terbitan Balai Pustaka 1961, disebutkan bahwa
orang yang mempunyai watak Satria adalah orang yang punya sikap mental
baik, jujur dan gagah berani. Sikap metal Satria dapat dijabarkan
sebagai berikut :
- Baik hati, merupakan perasaan yang paling dalam dari
seseorang
yang digambarkan sering menyentuh sampai ke relung hati. Sifat baik
hati merupakan perwujudan dari ketaqwaan terhadap Tuhan YME. Ia akan
selalu berbuat baik walau tanpa ada orang lain mengetahuinya.
2. Jujur, setiap orang yang mempunyai budi pekerti luhur tentu
akan selalu berbuat jujur. Orang yang berbudi pekerti luhur,
disiplin dan bertanggung jawab akan selalu bertindak jujur
dengan segala tindakannya.
3. Gagah berani, hanya dimiliki oleh orang yang senantiasa
bekerja keras dan tangguh dalam segala kondisi dan situasi
apapun. Disamping itu juga memiliki jiwa kemandirian ,
cerdas dan trampil serta sehat jasmanim dan rohani.
Sifat
masyarakat Banyumas yang berani mengemukakan segala sesuatu
sebagaiamana adanya, sering disebut sebagai CABLAKA yang artinya berani
mengemukakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah, yang buruk
itu buruk dan yang baik itu baik. Dengan demikian peningkatan kulitas
warga Banyumas yang ingin dicapai adalah identik dengan sikap mental
SATRIA. Manuisa yang berjiwa SATRIA adalah manausia yang berkulitas dan
yang mempunyai semangat SATRIA.
Akhirnya
terserah kepada Wong Banyumas dan para pengambil keputusan Pemda
Banyumas, apakah sudah pas jika sosok Bawor mengenakan kalung berhuruf
SATRIA. Pro kontra maskot Bawor tidak perlu diperpanjang karena sudah
jelas bahwa maskot tersebut tidak ada dasar hukumnya.
JANGAN MALU BERBAHASA BANYUMASAN
Akan punahkah Bahasa Jawa dialek Banyumasan seperti bahasa dialek lain di Indonesia yang sudah lebih dulu punah ?
Mudah-mudahan
tidak, karena Wong Banyumas dan sekitarnya masih dalam kesehariannya
masih menggunakannya, walaupun kadang merasa malu jika berbicara di muka
umum apalagi didengar oleh orang dari liar Banyumas khususnya orang
Jogya – Solo yang notabene dialeknya lebih halus.
Banyak
yang mengangap bahasa Banyumasan itu “ndesani”. Warga Banyumas yang
meliputi Kabupaten Banyumas, Cilacap, Purbalingga dan Banjarnegara sudah
dikenal si seluruh Indonesia sebagai dialek “ngapak ngapak” yang
menjadi bahan tertawaan. Hal ini bisa kita lihat di acara
televisi khususnya acara humor, dimana penonton televisi dibuat tertawa
setiap muncul dialek Banyumasan. Salah contoh adalah Artis Tukul Arwana
yang selalu memunculkan gurauan dialek Banyumas “Balik maning nang
laptop, kaya kuwe…..”.
Hal
demikian menjadikan saat ini warga Banyumas malu berbahasa dialek
Banyumasan, padahal mengandung unsur keunikan sebagai kebanggaan
sehingga kita tidak segan menggunakannya sebagai bahasa pengantar
sehari-hari baik dalam pertemuan formal maupun informal.
Upaya
pelestarian bahasa Jawa dialek Banyumasan bukan hanya tanggung jawab
Dinas Pendidikan atau Dinas Kebudayaan dan Pariwisata saja, yang salah
satu tupoksinya adalah pelestartian budaya Banyumasan, tetapi merupakan tanggung jawab semua orang Banyumas.
Untuk
mecapai hasil yang optimal dalam melestarikannya, memerlukan dukungan
politis, bahkan mungkin lewat surat Edaran Bupati atau Surat Keputusan
Bupati Banyumas yang intinya upaya pelestarian penggunaan bahasa Jawa
dialek Banyumasan di semua tingkatan, mulai dari tingkat RT-RW,
selapanan Desa/Kelurahan, pertemuan tingkat Kecamatan dan tingkat
Kabupaten untuk dihimbau menggunakan bahasa Jawa dialek
Banyumasan pada kesempatan pertemuan, atau dianjurkan dalam sebulan ada
pekan ngomong banyumasan bagi Warga Banyumas.
Bagi
warga Banyumas pendatang yang berdomisili di banyumas dan belum fasih
berbahasa dialek banyumasan, tidak ada sanksi jika belum dapat berdialek
banyumaan dengan baik dan benar. Kenyatannya di masyarakat sudah banyak
para pendatang yang mulai belajar dan menyesuaikan diri dengan
menggunakan bahasa banyumasan.
Sebetulnya
dialek Banyumasan tidak jauh berbeda dengan bahasa tetanga seperti
Sunda, Jogyo, Solo, Jawa Timur dan Madura. Yang berbeda prinsipnya hanya
dialeknya saja, sehingga bahasa kita masih bisa dipahami oleh mereka.
Jika ada perbedaan arti, prosentasenya sangat kecil.
Kita
kagum pada suku bangsda lain di Indonesia yang tetap konsisten dan
tidak malu-malu mengunakan bahasa ibu seperti orang Sunda, Batak,
Madura, Bugis, Minang dan sebagainya yang dengan bangganya menggunakan bahasanya sendiri.
Jika
Pemerintah Kabupaten Banyumas mempunyai misi untuk melestarikan budaya
Banyumasan, tentunya termasuk dialek bahasa banyumasan. Para pendidik
juga harus belajar dan menggali lebih banyak lagi pengetahuan tentang
Banyumas baik budaya, sejarah, serta tradisi Wong Banyumas.
Dinas
Kebudayan dan Pariwisata Kabupaten Banyumas pernah mengadakan sarasehan
untuk mengambil langkah-langkah pelestarian bahasa jawa dialek
banyumasan. Bahkan pernah mengusulkan agar di Kabupaten Banyumas segera
dibentuk Lembaga atau Badan Pelestari Bahasa Jawa dialek Banyumasan,
tetapi kendalanya adalah tidak adanya dukungan politi, morial dan
material. Paing tidak Dinbudpar dalam upayanya telah banyak melangkah,
misinya mempelopori lomba pidato bahawa jawa dialek banyumasan,
memerbitkan brosur-brosur tentang sastra banyumasan dan kegiatan lain
yang menjurus pada pelestarian budaya banyumasan.
Kepada
Wong Banyumas atau mereka yang selalu mengaku sebagai Wong Banyumas
agar tidak malu atau sungkan berbicara mengunakan dialek banyumasan,
terutama kepada para generasi muda yang takut dikatakan “ndesani dan
katrok” jika berdialek banyumasan.
Contoh
kongkrit yang patut ditiru adalah Bapak Bupati Mardjoko, dalam setiap
Sambutan/arahannya pada acara rapat beliau lebih banyak mengunakan
bahasa dialek Banyumasan daripada harus menggunakan dialeh Bahasa
Indonesia. Ini terdengan lebih akrab dan lebih dekat dengan masyarakat/audiannya.
Lebih
baik jika mulai sekarang dalam pembuatan spanduk, slogan serta ajakan
kepada masyarakat menggunakan bahasa dialek banyumasan. Nampaknya akan
lebih mengena dan menarik untuk dibaca daripada mengunakan bahasa
Indonesia yang saudah umum.
0 Komentar untuk "Kumpulan Cerita Rakyat Banyumas Lengkap"